Suku Karo, Salah Satu Suku Bangsa yang Memiliki Warisan Budaya dan Sejarah yang Kaya

4 Januari 2024, 13:20 WIB
Suku Karo, Salah Satu Suku Bangsa yang Memiliki Warisan Budaya dan Sejarah yang Kaya /

Malanghits.com, Karo merupakan salah satu wilayah Batak yang berada di Sumatera Utara.

Suku yang mendiami Kabupaten Karo, Sumatera Utara (Sumut) ini memiliki sejarah cukup panjang.

Kabupaten Karo, yang beribu kota di Kabanjahe, memiliki wilayah dataran tinggi dengan ketinggian antara 600-1400 m di atas permukaan laut.

Baca Juga: Mengenal Sesar Lembang Dan Sejarah Awalnya

Suku Karo tersebar di beberapa wilayah, seperti Dataran Tinggi Karo, Kabupaten Deliserdang, Kota Binjai, Kabupaten Langkat, Kabupaten Dairi, Kota Medan, dan Kabupaten Aceh Tenggara.

Sejarah Marga Karo

Suku Karo memiliki bahasa sendiri yang disebut Bahasa Karo dan menyapa dengan salam khas, yaitu Mejuah-juah.

Baca Juga: Sejarah Gereja Bethany Surabaya, Gereja Terbesar di Asia Tenggara

Pakaian adat suku Karo didominasi oleh warna merah dan hitam, seringkali dihiasi dengan perhiasan emas.

Marga dalam Kebudayaan Karo Berdasarkan Keputusan Kongres Kebudayaan Karo pada 3 Desember 1995, pemakaian marga didasarkan pada Marga Silima.

Pemakaian marga ini penting untuk menghindari kerancuan, terutama dengan adanya sub marga yang dipakai di belakang marga.

Baca Juga: Menelusuri Lebih Jauh Pengaruh Peradaban Mesir Kuno di Yunani Dalam Sejarah Dunia

Suku Karo, salah satu suku bangsa yang mendiami wilayah Sumatera Utara, memiliki warisan budaya dan sejarah yang kaya.

Dalam kesehariannya, suku ini dikenal dengan lima marga induknya, yang memiliki sejarah panjang dan berkembang menjadi beberapa sub marga.

Dalam tulisan ini, kita akan menjelajahi asal-usul dan perkembangan suku Karo melalui lensa sejarah Marga Silima.

Baca Juga: Mengenal Sejarah Prasasti Kaladi yang Menujukkan Jaringan Perdagangan Maritim Era Mataram Kuno

Sejarah Marga Silima

Asal-usul Marga Silima erat kaitannya dengan sejarah suku Karo, sebuah cerita yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.

Salah satu narasi menarik disampaikan oleh Sempa Sitepu melalui bukunya yang berjudul "Sejarah Pijer Podi, Adat Ngeluh Suku Karo Indonesia."

Dalam narasinya, kita dibawa kembali ke masa lalu, ketika seorang Maharaja dari India Selatan memutuskan untuk mencari tempat yang subur untuk mendirikan kerajaan baru.

Rombongan Maharaja tersebut, yang terdiri dari keluarga dan pengikut setianya, berlayar melintasi perairan yang berbatasan dengan Myanmar.

Di antara pengikutnya terdapat seorang pengawal yang sakti bernama Si Karo, yang kelak menjadi tokoh sentral dalam cerita ini.

Si Karo menikah dengan putri Maharaja bernama Miansari.

Perjalanan mereka penuh liku-liku, dan dalam suatu peristiwa dramatis, rombongan itu terpencar dan terdampar di pulau berhala.

Di pulau inilah Si Karo dan Miansari bersama tujuh orang lainnya terpisah dari rombongan Maharaja.

Dengan menggunakan rakit, mereka akhirnya tiba di sebuah pulau yang kemudian diberi nama 'Perbulawanen,' yang artinya perjuangan, dan kini dikenal sebagai daerah Belawan.

Menetap di Dataran Tinggi Karo:

Perjalanan mereka tidak berakhir di situ. Mereka melanjutkan perjalanan menyusuri sungai Deli dan Babura hingga sampai ke Gua Umang di Sembahe.

Setelah beberapa waktu, mereka memutuskan untuk menetap di dataran tinggi, yang kemudian menjadi asal mula perkampungan di Dataran Tinggi Karo.

Pernikahan antara Si Karo dan Miansari melahirkan tujuh anak, enam di antaranya adalah perempuan (Corah, Unjuk, Tekang, Girik, Pagit, dan Jile).

Dan anak ketujuh, seorang laki-laki bernama Meherga, dianggap sebagai anak yang "berharga" karena menjadi penerus keturunan.

Meherga kemudian menikah dengan Cimata, anak Tarlon yang merupakan saudara bungsu Miansari.

Dari pernikahan ini, lahirlah lima orang anak laki-laki yang menjadi lima induk marga atau marga suku Karo: Karo, Ginting, Sembiring, Perangin-angin, dan yang termuda, Tarigan.***

 

Editor: Jingga Almadea

Tags

Terkini

Terpopuler