Demikian pula, perceraian hanya memerlukan niat salah satu atau kedua belah pihak untuk mengakhiri perkawinan dalam sejarah Romawi kuno.
Baca Juga: Mengenal Silek Tuo, Tradisi Beladiri Urang Minang yang Makin Terkikis Zaman
Perceraian di zaman Romawi telah berkembang sepanjang sejarah. Dengan berkembangnya negara Romawi, norma hukum yang mengatur masalah perkawinan pun mengalami transformasi.
Dengan berakhirnya republik, adat istiadat Romawi berubah dan hak untuk bercerai juga diberikan kepada perempuan tepatnya pada abad ke-2 SM.
Hal ini sebagian besar disebabkan oleh semakin intensifnya kancah politik Roma dan perebutan posisi di kalangan strata sosial atas.
Baca Juga: Sejarah Benteng Keraton Buton, Benteng Terbaik yang Memiliki Nilai Filosofi Tinggi
Sejak awal, laki-laki berhak bercerai. Meskipun perceraian secara resmi diperuntukkan bagi suami hanya jika terjadi kesalahan perkawinan yang serius di pihak pasangannya.
Laki-laki sering kali memutuskan untuk menceraikan pasangannya jika terjadi perzinahan, ketidaksuburan, atau bahkan soal konsumsi anggur.
Keputusan untuk bercerai bisa diambil kapan saja.
Membentuk aliansi politik melalui pernikahan sudah menjadi hal yang populer. Perceraian, pada gilirannya, dilakukan ketika pasangan baru yang 'disukai' muncul di kancah politik.