Mendengar laporan tersebut Andi Depu beranjak dari tempatnya kemudian berlari ke tiang bendera sambil berseru "Allahu Akbar" seraya mendekap erat tiang bendera.
Di tengah kepungan tentara Belanda itu, Andi Depu lalu berteriak lantang dalam Bahasa Mandar: ''Lumbangpai Batangngu, Muliai Pai Bakkeu, Anna Lumbango Bandera'' yang artinya ''Biarlah saya gugur, mayatku kalian langkahi, baru bendera ini bisa kau turunkan''.
Dalam buku Puang & Daeng: Sistem Nilai Budaya Orang Balanipa-Mandar karya Darmawan Mas'ud Rahman, Andi Depu diceritakan nyaris ditebas oleh tentara NICA karena aksi penolakannya menurunkan bendera merah putih di halaman rumahnya ini.
Aksinya itu membuat pengawal istana dan warga Tinambung menerobos kepungan Belanda dan berdiri mengelilingi Andi Depu.
Terbilang nekat, karena para pengawal istana dan masyarakat sekitar hanya bersenjatakan keris dan tombak ketika menghalang-halangi prajurit Belanda.
Sebelumnya, para pengawal istana itu diberi mandat oleh Andi Depu bahwa tidak seorang pun yang boleh menurunkan bendera Merah Putih itu.
Melihat kegigihan perjuangan rakyat Mandar pimpinan Andi Depu, Belanda pun tak jadi menurunkan bendera tersebut.
Mendukung Pembuburan NIT
Sering ditahan Belanda, Andi Depu dan para pemimpin perjuangan rakyat Mandar akhirnya bebas menjelang penyerahan kedaulatan Indonesia secara penuh pada akhir 1949 lewat Konferensi Meja Bundar (KMB).
Selepas dari penjara, Andi Depu turut mendukung pembubaran Negara Indonesia Timur (NIT). Demonstrasi ia gelar di Polombangkeng pada 1950. Akibatnya, ia sempat ditahan lagi oleh sisa-sisa orang-orang NIT selama sebulan.