Tradisi Tak Pernah Hilang, Lebaran Beli Baju Baru

- 29 Maret 2024, 12:37 WIB
Tradisi Tak Pernah Hilang, Lebaran Beli Baju Baru
Tradisi Tak Pernah Hilang, Lebaran Beli Baju Baru /ilustrasi/

Malanghits.com - Tradisi memakai baju baru saat Lebaran merupakan salah satu penerapan sunnah Rasulullah Muhammad SAW yang menganjurkan umat Muslim untuk berpakaian yang terbaik pada saat perayaan Idul Fitri maupun Idul Adha.

Namun ternyata, tradisi memakai baju baru saat Lebaran di Indonesia juga mendapat pengaruh dari Kolonial Belanda.

Secara umum tradisi memakai baju baru saat Lebaran menjadi bentuk perayaan kemenangan setelah sebulan penuh berhasil menahan hawa nafsu.

Baca Juga: Akhirnya Jelang Lebaran, Harga Emas Batangan Mengalami Kenaikan

Baju yang baru juga menjadi simbol diri yang bersih suci setelah melewati bulan Ramadan. Bagi beberapa masyarakat Indonesia baju baru menjadi bagian yang sangat esensial saat Lebaran.

Tradisi ini terus dipertahankan dan menjadi bagian dari budaya Muslim di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

Meskipun dalam beberapa tahun terakhir, ada pula yang memilih untuk memakai baju yang sudah dimiliki sebelumnya atau membeli baju second-hand sebagai alternatif untuk mengurangi dampak lingkungan dari produksi baju baru.

Baca Juga: Lindungi Konsumen, Kemendag Musnahkan Barang Import Ilegal Senilai Rp9,3 Miliar

Berikut asal-usul tradisi memakai baju baru saat Lebaran di Indonesia yang dirangkum Malanghits.com dari berbagai sumber.

Jika menilik sejarahnya, tradisi membeli baju baru ini sudah ada sejak abad ke-20, lebih tepatnya semasa Indonesia masih di bawah kekuasaan Hindia Belanda.

Hal ini tercatat pada surat yang ditulis penasihat urusan pribumi untuk pemerintah kolonial Belanda, Snouck Hurgronje kepada Direktur Pemerintahan Dalam Negeri 20 April 1904.

Baca Juga: InJourney Siapkan Sejumlah Promo Menarik Dalam Menyambut Lebaran 2024

Surat-surat tersebut kemudian dibukukan dalam ‘Nasihat-Nasihat Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya di Pemerintah Hindia Belanda 1889–1939 Jilid IV’.

Dalam suratnya, Snouck menjelaskan bagaimana cara masyarakat memperingati hari raya Idulfitri seperti memakan hidangan khusus, melakukan silaturahmi antar sanak saudara, membeli baju baru, dan lainnya.

Selain itu, Snouck dalam buku berjudul ‘Islam di Hindia Belanda’ menyebutkan bahwa tradisi mengenakan baju baru saat hari raya mirip dengan kebiasaan di Eropa saat merayakan tahun baru.

Baca Juga: Antisipasi Lonjakan Penumpang, KAI Operasikan Puluhan KA Tambahan Saat Libur Panjang Akhir Maret

“Kebiasaan saling bertamu pada hari pertama bulan kesepuluh dengan mengenakan pakaian serba baru mengingatkan kita pada perayaan tahun baru Eropa,” terang Snouck.

Seiring berjalannya waktu, kebiasaan ini pun dikritik oleh dua pejabat kolonial di masa itu, yakni Steinmetz dari Residen Semarang dan De Wol pejabat Hindia Belanda.

Mereka beranggapan bahwa tradisi membeli baju baru merupakan sumber bencana ekonomi, karena ada beberapa pihak yang diduga ‘memakan’ dana pemerintah untuk merayakannya.

Baca Juga: InJourney Siapkan Sejumlah Promo Menarik Dalam Menyambut Lebaran 2024

Tak berhenti di situ, tradisi ini juga mengakibatkan kesenjangan sosial dengan rakyat. Pihak yang memanfaatkan momentum tersebut mengenakan pernak-pernik berlebihan seperti pantolan berbahan benang emas hingga sejumlah atribut khas Eropa.

Hal ini berbeda dengan rakyat jelata yang justru hanya memiliki sedikit pilihan dalam membeli pakaian baru.

Melansir dari berbagai sumber lainnya, tradisi membeli baju lebaran sudah dimulai sejak tahun 1596 atau tepatnya pada masa Kesultanan Banten.

Hal ini tercatat dalam buku ‘Sejarah Nasional Indonesia’ karya Marwati Djoened Pusponegoro dan Nugroho Notosusanto.

Namun sayangnya, di masa itu membeli baju bagus untuk dipakai saat Idulfitri hanya berlaku bagi kalangan kerajaan saja. Sementara rakyat biasa akan menjahit pakaian mereka sendiri.

Memasuki tahun 1900, rakyat biasa mulai memiliki hak untuk membeli baju baru saat lebaran. Dalam Harian De Locomotief, 30 Desember 1899, misalnya menggambarkan keadaan orang-orang yang mulai berpakaian Barat, mengikuti selera baju para polisi, kecuali kain penutup kepala.

Baca Juga: Temani Langkah Pengguna Penuhi Kebutuhan di Bulan Suci, Ikuti Promo Puncak Big Ramadan Sale 25 Maret 2024

Tradisi baju lebaran pun tak lagi hanya identik dengan peci dan sarung baru, tetapi ditambah dengan sepatu, celana panjang, dan topi khas Eropa.

Kebebasan memilih mode pakaian ini berimbas pada pertumbuhan industri tekstil di Hindia Belanda.

Pada masa pendudukan Jepang, tradisi baju baru lebaran sedikit tertahan. Produksi besar-besaran untuk memenuhi keperluan militer Jepang dan hilangnya bahan pangan di pasar membuat rakyat digerakkan untuk kerja paksa bahkan sampai-sampai pakaian disita.

Hal tersebut diterangkan Thomas J. Lindblad dalam buku ‘Krisis Ekonomi dalam Sejarah Indonesia Abad ke-20’, termuat dalam ‘Dari Krisis ke Krisis: Masyarakat Indonesia Menghadapi Krisis Ekonomi Selama Abad 20’.

Selama masa ini, rakyat justru membeli barang dengan pakaian bekas sebagai pengganti uang dalam metode jual-beli.

Ketika menjelang lebaran tiba, tidak orang yang mencari pakaian baru. Di hari raya Idulfitri mereka terpaksa mengenakan pakaian lama.

Keadaan perlahan normal kembali setelah Indonesia menyatakan kemerdekaan. Mulai saat itulah, tradisi membeli dan mengenakan baju baru saat lebaran terus berlanjut hingga saat ini.***

Editor: Sam Legowo


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x