Menelusuri Sejarah dan Asal Usul Nasi Uduk, Hidangan Persilangan Dua Budaya

- 25 April 2024, 21:28 WIB
Menelusuri Sejarah dan Asal Usul Nasi Uduk, Hidangan Persilangan Dua Budaya
Menelusuri Sejarah dan Asal Usul Nasi Uduk, Hidangan Persilangan Dua Budaya /ilustrasi/

Malanghits.com - Nasi uduk dikenal sebagai makanan khas Betawi yang menjadi menu sarapan favorit warga Jakarta.

Nasi uduk dibuat dari beras yang diaron terlebih dahulu dengan air santan, daun salam, daun jeruk, laos, dan serai, untuk kemudian dikukus hingga matang.

Dengan menggunakan bumbu-bumbu tersebut, tak heran jika aroma nasi uduk sangat menggoda terutama ketika masih hangat.

Baca Juga: Menelusuri Jejak Perjuangan Ra Kartini Lebih Dalam dari Jepara Hingga Rembang

Nasi uduk biasa disajikan dengan beberapa lauk pendamping seperti ayam goreng, semur tahu, kering tempe, telur balado, bihun goreng, gorengan, dan masih banyak lagi.

Tak lupa tambahan sambal kacang kemiri yang kental nan pedas untuk menambah cita rasa khasnya.

Hidangan Betawi yang populer ini adalah hidangan persilangan dua budaya Melayu dan Jawa.

Baca Juga: Sejarah Hari Kartini dan Kisah Hidup Pahlawan Emansipasi Wanita yang Menginspirasi

Istilah uduk secara etimologis bermakna "susah", yang menyiratkan bahwa dahulu makanan ini lazim dikonsumsi para kriminal betawi, seperti pembunuh dan pencuri yang mendominasi DKI Jakarta.

Teori lain berpendapat bahwa istilah uduk terkait atau berkerabat dengan istilah aduk, maka nasi uduk bermakna "nasi yang diaduk" atau "nasi campur".

Akan tetapi ada sementara pihak yang mengaitkan nasi uduk dengan Sultan Agung dari Mataram.

Baca Juga: Menelusuri Benteng Willem II Khas Kolonial Belanda

Sultan Agung dari Mataram dikatakan menyebut hidangan nasi ini nasi wuduk, dari kata bahasa Arab tawadhu' yang berarti rendah hati di hadapan Tuhan.

Nama uduk serapan dari bahasa Jawa yaitu wuduk. Nasi ini juga sering disebut sega gurih (nasi gurih) mengacu pada rasanya yang didominasi nuansa gurih.

Menurut buku "Makanan Khas Betawi" (2018) karya Lilly T. Erwin, nasi uduk adalah hidangan khas Betawi yang sangat populer dan mudah ditemukan di setiap sudut kota Jakarta.

Baca Juga: Benteng Pendem Dibangun Sebagai Markas Pertahanan Belanda untuk Menjaga Pantai Selatan Jawa

Meskipun kini hidangan ini dikaitkan dengan Jakarta, sejarawan kuliner berpendapat bahwa asal mula nasi uduk dapat ditelusuri berasal dari pengaruh dua budaya kuliner yakni Melayu dan Jawa.

Menurut sejarawan, terdapat hubungan dagang yang erat dan migrasi antara kota bandar pelabuhan Malaka dan Batavia, yakni pedagang dan pendatang dari Malaka ada yang datang dan bermukim di Batavia.

Dalam sebuah diskusi bertajuk "Kuliner Betawiː Silang Budaya", menurut seorang ahli kuliner Betawi, Pudentia, orang Melayu ada yang pindah dari Malaka ke Batavia yang mana mereka pun membawa masakan khas mereka yakni nasi lemak.

Sementara itu, pendatang suku Jawa dari Mataram pun terbiasa memasak nasi dengan santan yang disebut sega gurih.

Apalagi setelah jatuhnya Portugis Malaka ke tangan Belanda pada tahun 1641, maka hubungan dagang bandar Malaka dan Batavia kian erat, karena keduanya dimiliki Belanda.

Jejak migrasi suku Melayu ke Batavia dapat terlihat dari adanya nama bernuansa Melayu, yakni Kampung Melayu, dekat Jatinegara, di Jakarta Timur.

Ada pula yang memercayai bahwa nasi uduk konon berasal dari buah pikir Sultan Agung dari Mataram, yang terinspirasi oleh pengalamannya memakan nasi kebuli.

Hidangan ini mulai dibuat penduduk pulau Jawa dan dipopulerkan oleh Hindia Belanda setelahnya.

Menurut Babad Tanah Jawi, sultan Mataram gemar makan "nasi arab", yang mungkin merujuk pada berbagai jenis Pilaf atau nasi bergaya Arab.

Hidangan nasi dari Arab sering disebut nasi kebuli (populer di kalangan keturunan Arab di Indonesia) atau nasi biryani (hidangan Muslim India).

Kedua hidangan tersebut paling umum dikenal di kalangan Muslim Jawa pada saat itu.

Sultan Agung kemudian memutuskan untuk membuat "hidangan Arab" versi lokal, menggunakan bahan-bahan lokal.

Ia melakukan ini antara lain untuk mengurangi pengeluaran negara (biaya untuk membeli bahan-bahan impor untuk membuat masakan nasi khas Arab sangat tinggi) dan untuk meningkatkan kebanggaan lokal.

Tak lama kemudian, sega uduk menjadi bagian dari "syarat" dalam upacara "terima kasih" adat Jawa, yang sering disebut banca'an (bancakan) atau slametan.

Nasi uduk dapat ditemukan dalam sega berkat, paket makanan (biasanya berisi nasi, sayuran, dan lauk pauk), atau disajikan sebagai tumpeng, untuk dibagikan setelah upacara atau acara selesai.

Sega uduk juga menjadi hidangan wajib untuk disajikan saat Wiwitan, ritual persembahan menjelang panen yang biasanya diadakan di beberapa daerah Jawa.

Nasi uduk diperkenalkan ke Batavia oleh para pendatang dari Jawa pada tahun 1628, dan kemudian menjadi hidangan populer di Batavia.

Orang Betawi yang menjual masakan ini akan sering menambahkan sentuhan Betawi dengan menambahkan tanduk kambing.

Nasi uduk juga populer di kalangan diaspora Jawa di Suriname dan Belanda. Dalam bahasa Belanda nasi uduk disebut rijst vermengd met onrust van de liefde (disingkat jaloerse rijst).

Untuk acara atau upacara tertentu, nasi uduk biasanya disajikan dengan masakan tradisional Jawa seperti kering tempe, urap, dan sambel goreng (kentang/kentang, krecek/kulit sapi, teri/ikan teri, dll).

Sumber protein sederhana, seperti telur rebus, tempe goreng, atau tahu goreng, juga bisa menjadi pelengkap lauk.

Dalam acara slametan, nasi uduk biasanya disajikan bersama hidangan lain, seperti irisan telur goreng, telur bumbu, atau rendang.

Beberapa orang juga menambahkan mie goreng atau bihun ke dalam hidangan nasi uduk. Krupuk, rempeyek, atau emping juga bisa ditambahkan.***

 

Editor: Jingga Almadea


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah